Kamis, 04 Agustus 2011

Hey, kau percaya keberuntungan ? Aku Tidak :)

AYEE ITS 2011

Ayee, Hello haloooo I’m back !
Waaah udah lama bangeeeeeet gak nulis-nulis nih, tangan berasa kaku *lebay* ahahaha, kegiatan maba yang seabrek mnyita bnyak waktu sih guys, udah jarang OL, jarang nulis, jarang nonton TV, deeleeleel :’( aaaaaaaaa gimana nih gimana nih, rasanya banyak bgd kelewatan momen-momen baerharga buat di tulis.. yaah gapapa deh ya, walaupun sedikit basi tapi masih sedaap kok untuk dinikmati..
Aniway, mau ngucapin say goodbye dulu buat temen-temen SMA aku di SMAN 3 Denpasar --> XII IPA 3 TRISMA (THRILLER), guru-guru tercinta, sahabat-sahabat aku, mama- papa (hiks), adik, nenek, om-tante, sepupu-sepupu, kakak-kakak tersayang, dan KAMU ! hahaha.
YEAH, Saya seorang mahasiswa sekarangggg !! gak perlu deh ditulis bagaimna pengorbanan jatuh bangunnya saya untuk mendapatkan ITS, bakalan puaaaaaannjang dan luaaama yang asli bikin sedih lagi -________-, oke officially Iam a freshmen  at Institut Technological Sepuluh November Surabaya – System Information  .. yeeee prok prok prok :D alhamdulilaaaaaah bgd ya Allah, alhamdulilah dikasih hidayah sekolah di ITS, makasih mama-papa-adik-nenek-sodara2-sahabat semuanyaa :’( 
Uwaaa betah bgd disini (rasanya, menghibur diri mode :on) hahaha.. Tapi beneran lho, ngerasa lebih deket sama Allah, apalagi di bulan puasa kayak gini! Apalagi nih ikutan training ESQ di ITS yang asli bnyaak bgd dapat manfaat hidup, oke aku sudah tahu SIAPA AKU, APA TUJUANKU HIDUP, dan UNTUK APA AKU HIDUP :D  hemm penasaran ? oke brb aku bakalan cerita tentang masa-masa maba sistem informasi di ITS, waitwaiit yaa :)

Kamis, 05 Mei 2011

Lukisan Hujan


Aku tak pernah tahu bagaimana rasanya kehilangan, sampai kau yang mengajariku bagaimana merelakan sesuatu yang akan hilang.
            Kutatap bangunan yang berdiri kokoh itu lekat-lekat. Ada sesuatu yang membuat pandanganku tak bisa lepas darinya. Serangkaian kata terukir di pagar besi yang menjulang tinggi dan besar. Kata-kata motivasi yang hampir pudar di sapu hujan dan terik matahari ribuan hari, namun tetap terlihat elok dan menawan. Pagi ini sepertinya sang mentari enggan bangun, tak tampak sinarnya menghiasi langit pagi. Atau mungkin mentari sudah lelah? Sudah bosan menemani manusia? Lupakanlah. Aku turun dari mobil hitam menggenakan seragam putih-abu kebangganku. Ahh, tak terasa tiba juga saat ini. Ku tarik nafasku dan ku keluarkan perlahan, kunikmati atmosfer di sekitarnya. Tepat, masih sama seperti dua tahun yang lalu. Angin pagi beriringan menemani langkahku yang perlahan memasuki bangunan itu. Beberapa teman tersenyum menyapa, ada yang berhenti sekedar menawarkan tumpangan sampai ke parkiran. Ku gelengkan kepalaku mantap, aku ingin menikmati hari ini sendiri, dengan caraku sendiri. Samar-samar kudengar deru motor yang seketika membuat jantungku berdegup. Tak berani kumenoleh ke belakang, aku takut kecewa. Kuteruskan langkahku, entah sudah berapa kali dia memanggil namaku, tak jua ku balas. Sudah kubilang kan, aku takut kecewa.
Sampai di pelataran bangunan ini akhirnya ku hentikan langkahku. Memandang sekeliling. Ku kulumkan senyuman manis sekedar untuk membalas sapaan orang-orang yang berlalu lalang didepanku ini. Ah jadi seperti ini rasanya berdiri di antara hiruk-pikuknya ribuan orang yang mengejar mimpi. Sayup-sayup terdengar lantunan kidung di sudut barat, indah dan begitu menenangkan. Kemudian terlihat satu-persatu anak bergantian memasuki tempat pemujaan para dewa, menghaturkan bunga-bunga berwarna cantik serta tak lupa berpesan doa kepadaNya. Semuanya tulus berdoa, sejenak seperti melupakan beban yang mereka tanggul di dunia. Aroma dupa yang beragam menusuk hidungku, lekas kupercepat langkahku mengingat tujuanku datang kemari. Namun kembali langkahku tercegat, kali ini bukan karena suara permainan gamelan ataupun suara mantra-mantra yang terdengar apik yang membuatku terdiam. Kurasakan tangan kananku berat, ya seseorang menahannya. Dia. Aku tak berbalik, karena aku takut saat aku membalikan badan nanti duniaku akan kacau, sekali lagi aku takut kecewa. Seperti biasa, dia mengucapkan kata-kata yang mungkin baginya terkesan biasa tapi tidak bagiku. Dia bisa tertawa seperti itu dan aku hanya tersenyum kecut sembari berusaha mengatur detakan jantung ini. Ku beranikan membalikan badanku, sekali saja, tak apalah jika aku kecewa sekali saja, karena ini hari terakhir. Dia tersenyum dan aku selalu seperti ini, berkata-kata tak karuan tanpa berani melihat matanya. Aku tak kecewa, sungguh. Karena tak ada yang menemaninya . Hanya dia , ya dia dan aku.
            Berjalan disampingnya membuatku sadar aku terlalu banyak melewatkan waktu bersamanya. Seingatku sebulan yang lalu tingginya hanya berkisar dua atau tiga cm diatasku, tetapi bagaimana sekarang ia bisa jauh melampauiku. Ku perhatikan alas kakinya, dia tidak memakai high heels ataupun wedges , dia juga tidak menyumbal sepatu adidas hitamnya itu dengan batu atau apalah itu. Bagaimana mungkin bisa. Ku nikmati aromanya yang tersapu angin pagi diam-diam, tanpa sadar kutersenyum. Masih sama seperti dulu, tak pernah berubah. Aku bisa melihatnya dari ekor mataku, ya dia sedang memerhatikanku sambil tersenyum. kubalas dengan delikan “apa?” dan dia menghentikan langkahnya. Apa aku salah berucap? Kuperhatikan tangan kanannya terangkat dan mengacak-acak rambutku. Mataku tanpa sadar terpejam, aku tak berani berharap. Biarlah hanya aku dan Tuhan yang dapat merasakan detakan jantung ini, biarlah tertutupi oleh suara burung-burung gereja atau hembusan angin yang merayu. Ku kibaskan tangannya, dan tetap berjalan lurus kedepan. Kembali dari ekor mataku kuperhatikan dia terdiam, menghela nafas panjangnya kemudian berjalan menyusulku. Aku menunduk, memang seharusnya seperti ini kan?. Kutemukan sosok gadis manis tengah berdiri kurang lebih lima meter dariku. Dari kejauhan bisa kutebak siapa dia. Dia melambaikan tangan ke arahku tapi hanya kubalas dengan senyuman, karena aku yakin lambaian itu bukan untukku melainkan untuk orang di belakangku, ya untuknya. Semakin dekat jarakku dengan gadis itu, semakin terlihat jelas kerutan di wajahnya. Ahh bagaimana aku bisa tak sadar, jarakku dengannya terlalu dekat. Ku dorong tubuhnya begitu aku tahu betapa dekatnya kami. Lekas ku ucapkan salam perpisahan kepada mereka berdua dan masuk ke ruangan ini, ruang kelasku. Suasana kelas ini masih sepi, hanya ada sebagian orang teman-temanku. Ku sapa mereka satu-persatu, ini hari terakhir kan? Aku ingin menghafal nama mereka satu persatu. Aku berjalan ke deretan bangku nomor tiga dari depan. Ku letakan tas biru dongkerku di atas meja dengan sembarang, kemudian duduk dengan manis di kursi kesayanganku yang akan aku tinggali ini. Ku alihkan pandanganku ke luar jendela. Bisa kulihat mereka berdua masih berdiri di koridor kelas. Gadis itu tak henti-hentinya tersenyum, mendengar celotehan pasangannya. Kuperhatikan muka gadis itu, ada kebahagiaan di sana. Tanpa sadar ku titikan air mataku, jatuh begitu saja. Mengapa rasanya begitu sakit. Sakit sekali. ketika aku kembali menghadap jendela ku temukan mataku beradu dengan matanya. Lekas kuhapuskan sisa air mataku. Dan seketika aku mengalihkan pandanganku. Berharap ia tidak melihatnya, berharap ia tak akan pernah tahu rasa yang aku simpan untuknya. Kutundukan wajahku, menangis dalam diam itu ternyata jauh lebih menyakitkan. Tak apalah aku menangis hari ini, ini kan hari terakhir. Ya setidaknya kau dan dia punya happy ending.
Aku masih bergeming dalam diam ketika hujan tiba-tiba turun. Bahkan langitpun seolah bisa mengerti bagaimana suasana hatiku, dan hujan pun turut menemaniku menangis, terlalu deras, membuat nada-nada indah menjadi percuma. Sekilas kupandangi kembali sosoknya di balik jendela yang mulai tersamarkan hujan. Dia sedang tertawa-tawa bersama teman-teman lainnya. Aku tahu dia paling suka hujan. Mata kami kembali bertemu pandang. Kali ini tak aku acuhkan. Aku tersenyum. Seulas senyuman selamat tinggal. Dia balas tersenyum. Dan dengan itu, aku pun mengucapkan selamat tinggal yang sesungguhnya. Karena ada beberapa hal yang lebih baik tidak terucap. Cinta itu tidak memiliki. Begitu pula denganku. Walaupun sekarang rasanya sakit.
Sudah dua tahun kita terlambat dan ternyata hatiku masih sama, namun bukankah sudah tidak ada lagi kesempatan untuk memperbaikinya? Maaf, karena aku yang terlebih dahulu harus melepaskan kamu ...