Tahun berlalu dengan cepat tidak terasa aku sudah duduk di bangku kelas dua SMP. Dan mungkin ini tahun terakhirku bersama dengan Adit. Adit dan Rani mendapatkan beasiswa pendidikan di Singapura sungguh suatu prestasi yang luar biasa. Awalnya aku sedikit kecewa, itu berarti dua orang yang berharga bagiku akan pergi meninggalkanku, tapi aku merelakannya. Yah, setidaknya aku bangga mereka sukses. Tak terasa sudah lama juga aku tidak bertegur sapa dengan Adit. Yah hampir setahun lah. Jarak kelas kami cukup jauh dan kami terlalu sibuk dengan tugas dan kegiatan masing-masing. Hanya Rani yang tidak pernah absen berkunjung ke kelasku. Aku malas, mungkin tidak berani bermain ke kelasnya. Aku takut melihat Adit. Kami hanya bertemu saat menunggu jemputan atau saat berada di kantin. Entah aku sendiri juga tidak tahu mengapa aku takut menatap matanya itu. Tentu saja aku hanya berani memandangnya diam-diam. Namun terkadang kurasa dia juga memperhatikanku. Walau dengan cara yang berbeda tentu saja. Entahlah, pikiran kanak-kanakku tidak berpikir yang lain kecuali dia memperhatikanku. Dan dia menyebalkan karena itu, tapi sebenarnya aku suka. Iya, aku menyukainya. Dan saat itu pula aku harus merasakan sakitnya menyukai orang yang kita sukai.
Di kantin sekolah Adit bersama gerombolan anak laki-laki di kelasnya membicarakan tentang suatu hal yang membuatku berhenti untuk berharap. ” Dit, kamu ni enak banget ya pergi ke Singapore sama orang yg kamu suka. Tembak cepetan, sebelum kamu nyesel lho..” ucap seorang temannya. ”iya, udah ayo tembak, tembak, tembak.. awas nyesel kamu ntar” di sambung ledekan teman-temannya yang lain. Tenggorokanku terasa tercekat, seketika itu juga aku berhenti menghabiskan makananku, perutku terasa mualm, nafsu makanku hilang sudah dan butiran air mata itu pun jatuh begitu sja. Semua temanku panik, kaget. Aku berlari meninggalkan kantin lalu pergi ke kamar mandi sambil berlari. Oh Tuhan, hal bodoh apa yang sedang aku lakukan ini ??!
Seminggu lagi Adit dan Rani akan pergi dan aku sudah bisa menerima kenyataan bahwa Adit menyukai Rani. Aku tidak sama sekali membenci Rani. Hanya sedikit terselip rasa iri, namun itu semua bisa kupendam. Namun sepertinya Tuhan memiliki rencana lain untukku. Aku sedang menelpon mamaku untuk menjemputku tepat saat bel pulang berbunyi. Tiba-tiba Adit mengambil handphoneku, menghentikan panggilanku ke mama . ”Ayo kita ngobrol-ngobrol” ucapnya santai. Aku tidak bisa bergerak, tidak dapat mencerna kata-katanya itu ”Heh, ayoo! Seminggu lagi aku bakalan pergi lo dan aku gak mau ada orang yang manggil-manggil namaku setiap malam ”. ”maksudmu” ucapku acuh. ”Kamu sama sekali gak berubah ya masih aja galak dan cuek sama aku. Padahal aku berharap kamu sedikit lebih peduli gitu kek sama aku” sambungnya perlahan. Deg, kembali jantungku terasa aneh. Kita terdiam bersama. ”ya sudahlah, kayaknya kamu memang benar-benar benci sama aku dari dulu” aku terdiam mendengar ucapannya. ”aku pergi ya, daa..” ucapnya dengan nada sedikit aneh.”Tunggu” tanpa sadar aku menarik lengan bajunya. Seulas senyum terkembang di pipinya. Bagiamana aku bisa tak sadar, ia sudah tambah dewasa. Suaranya sudah mulai berubah dewasa, tingginya jauh melampauiku, dan senyumya berkali kali lipat lebih manis. Dia tampan. ” kenapa?” tanyanya. ”aaa..aku Cuma , Cuma pengen aja ngobrol terakhir kali sama kamu sebelum kamu kangen sama aku” jawabku sedikit garing. Tak kusangka dia tertawa, dan kita pun larut akan pembicaraan terakhir ini. Aku bisa tertawa lagi bersamanya seperti dulu, yah, seperti dulu lagi. “ Buruan dong tembak rani” ucapku kemudian. “Rani??”. “kamu suka kan sama dia, aiittt jodoh deh kayaknya kalian” jawabku dengan nada bergetar. Tuhan tolong kuatkan aku, jangan buat aku menangis di depannya. ” kalau iya kenapa, kalau enggak kenapa ? cemburu ya kamu ? “ Deg, rasanya semua perkataanya tepat sasaran. Dia tidak melanjutkan perkataannya dan mengalihkan pembicaraan. “ Hei, apa impianmu masa depan?” tanyanya sambil memandang langit. “eemmm, jadi presiden!” sahutku mantap. “hahahha, dasar kamu sama sekali tidak berubah” ucapnya sambil mengacak rambutku. Tuhan, apakah kau bisa menghentikan waktu untuk kali ini saja. ” kalo kamu apa?” tanyaku balik. ”Dokter, aku ingin menjadi dokter”. “waahwaah, kenapa ?” tanyaku lagi . “sama seperti alasanmu mengapa ingin menjadi seorang presiden” jawabnya sambil kembali tersenyum manis. Aku menunduk malu, ingin rasanya aku menangis saat itu juga. Kami menghabiskan waktu sangaaat lama. Dan percakapan terakhir kami di tutupnya dengan sebuah kalimat yang membuatku kembali berharap padanya. “Hei, aku pergi ya, kamu jaga dirimu baik-baik. Jangan cari rival yang lain. Tunggu aku, pokoknya tunggu aku. Aku janji berapa tahun lagi aku pasti ketemu kamu dan cita-citaku itu akan terwujud, akan kutunjukan sama kamu. Jadi, tunggu aku ya.”
***
Sudah 4 tahun aku tidak bertemu dengannya dan suatu hari keajaiban itu datang. Aku sedang pergi bersama teman-teman SMAku ke suatu mall. Waktu itu hujan dan aku sedang berteduh di suatu tempat. Ketika tiba-tiba aku melihatnya. Ya, aku melihatnya. Melihat Adit berjalan diseberangku dengan gaya khasnya, berjalan santai sambil mendengarkan Ipodnya. Aku terus menatapnya, rasanya ingin sekali meneriakkan namanya, namun tenggorokanku tercekat. Aku benar-benar bodoh, aku sadar aku tak ingin mengulang kembali kesalahanku di masa lalu, berita apapun yang kudengar nanti akan aku ikhlaskan, aku rela. Tapi aku tidak ingin membiarkannya pergi lagi. Saat aku akan menerobos hujan dan menghampirinya dia menghentikan langkahnya, berbalik badan, dan menghadap ke arah ku. Pandangan kami saling bertemu. Aku tertegun, dia juga . Namun beberapa saat kemudian dia tersenyum, tersenyum dengan penuh arti kepadaku, ya hanya kepadaku. Dan aku membalasnya, menangis sambil tersenyum, meneteskan airmata yang mulai tersapu hujan. Aku tak tahu apa yang akan terjadi dengan kami nanti, tapi aku yakin dia pasti telah berhasil memenuhi janjinya padaku, meraih apa yang ia cita-citakan. Dan aku sudah cukup merasa bahagia atas itu. Aku tak berani menebak apa yang selanjutnya kan terjadi pada kami, tapi aku yakin semua akan indah pada waktunya. Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.